Selasa, 20 Oktober 2009

jadi guru yg baik

PENEGAKAN ATURAN DAN KRITERIA DALAM KAITANNYA
REKRUTMEN GURU

PENGANTAR
Semua orang boleh saja menjadi guru, namun untuk menjadi guru professional dan berkualitas tentunya tidak semua orang boleh. Karena ada aturan dan criteria yang harus dimiliki oleh setiap orang bila mana ianya ingin menjadi guru yang memiliki integritas, loyalitas, dedikasi, dan responsibility untuk mewujudkan guru professional.
Guru adalah salah-satu komponen manusiawi dalam proses pembelajaran, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Oleh karena itu guru yang merupakan salah-satu unsur di bidang kependidikan harus berperan serta secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai
tenaga profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Dalam arti khusus dapat dikatakan bahwa pada setiap diri guru itu terletak tanggung jawab untuk membawa para siswanya pada suatu kedewasaan atau taraf kematangan tertentu. Dalam rangka ini guru tidak semata-mata sebagai "pengajar" yang transfer of knowledge, tetapi juga sebagai "pendidik" yang transfer of values dan sekaligus sebagai "pelatih " yang transfers of skill, dan “pembimbing “ yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar. Berkaitan dengan ini maka sebenarnya guru memiliki peranan yang unik dan sangat kompleks di dalam proses pembelajaran, dalam usahanya untuk mengantarkan siswa/anak didik ke taraf yang dicita-citakan. Oleh karena itu setiap rencana kegiatan guru harus dapat didudukkan dan dibenarkan semata-mata demi kepentingan anak didik, sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya.
Namun, untuk menjadi guru professional tentunya juga sangat berkait kelindan dengan rekrutmen tenaga guru, dan berbagai persyaratan untuk menjadi guru, demikian pula halnya untuk menjadi kepala sekolah yang professional dan memiliki visioner, dan juga jiwa kepemimpinan sehingga mampu membawa perubahan satuan pendidikan kea rah yang lebih baik.

PERSYARATAN MENJADI GURU
Untuk melakukan rekrutmen guru, perlu kiranya kita mengkaji ulang tentang berbagai persyaratan untuk menjadi guru. Sehingga kita tidak keliru untuk mengangkat seseorang sebagai guru. Untuk dapat melakukan peranan dan melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya, guru memerlukan syarat-syara tertentu. Syarat-syarat inilah yang akan membedakan antara guru dari manusia-manusia lain pada umumnya. Adapun syarat-syarat bagi guru itu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok :
 1. Persyaratan administrative
Syarat-syarat administratif ini antara lain meliputi: soal kewarganegaraan (warga negara Indonesia), umur (sekurangkurangnya 18 tahun), berkelakuan baik, mengajukan permohonan. Di samping itu masih ada syarat-syarat lain yang telah ditentukan sesuai dengan kebijakan yang ada.
2. Persyaratan teknis
Dalam persyaratan teknis ini ada yang bersifat formal, yakni harus berijazah pendidikan guru, dan bila tidak harus memiliki sertifikasi profesi melalu program Akta Mengajar. Hal ini mempunyai konotasi bahwa seseorang yang memiliki ijazah pendidikan guru itu dinilai sudah mampu mengajar. Kemudian syarat-syarat yang lain adalah menguasai cara dan teknik mengajar, terampil mendisain program pengajaran serta memiliki motivasi dan cita-cita memajukan pendidikan / pengajaran.
3. Persyaratan psikis
Yang berkaitan dengan kelompok persyaratan psikis, antara lain: sehat rohani, dewasa dalam berfikir dan bertindak, mampu mengendalikan emosi, sabar, ramah dan sopan, memiliki jiwa kepemimpinan, konsekuen dan berani bertanggung jawab, berani berkorban dan memiliki jiwa pengabdian. Di samping itu guru juga dituntut untuk bersifat pragmatis dan realistis, tetapi juga memiliki pandangan yang mendasar dan filosofis. Guru harus juga mematuhi norma dan nilai yang berlaku serta memiliki semangat membangun. Tak pentingnya bahwa guru itu harus mampu melakukan interaksi dan memberi motivasi dalam pembelajaran serta memiliki panggilan hati nurani menjadi guru untuk mengabdi demi anak didik.
4. Persyaratan fisik
Persyaratan fisik ini antara lain meliputi: berbadan sehat, tidak memiliki cacat tubuh yang mungkin mengganggu pekerjaannya, tidak memiliki gejala-gejala penyakit yang menular. Dalam persyaratan fisik ini juga menyangkut kerapian dan kebersihan, termasuk bagaimana cara berpakaian. Sebab bagaimanapun juga guru akan selalu dilihat/diamati dan bahkan dinilai oleh para anak didiknya.
Dari berbagai persyaratan yang telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa guru menempati bagian "tersendiri" dengan berbagai ciri kekhususannya, apalagi kalau dikaitkan dengan tugas keprofesiannya. Sesuai dengan tugas keprofesiannya, maka sifat dan persyaratan tersebut secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam spektrum yang
lebih luas, yakni guru harus:
a. memiliki kemampuan profesional
b. memiliki kapasitas intelektual
c. memiliki sifat edukasi sosial.
Ketiga syarat kemampuan itu diharapkan telah dimiliki oleh setiap guru, sehingga mampu memenuhi fungsinya sebagai pendidik bangsa, guru di sekolah dan pemimpin di masyarakat. Untuk itu diperlukan kedewasaan dan kematangan diri guru itu sendiri. Dengan kata lain bahwa ketiga syarat kemampuan tersebut,perlu dihubungkan dengan tingkat kedewasaan dari seseorang guru. Sebagai ilustrasi misaInya, seorang guru itu sudah memiliki kapasitas intelektual yang tinggi dan memadai, tetapi bisa jadi belum memiliki kedewasaan di bidang edukasi sosial, sehingga mungkin masih sulit untuk memenuh fungsinya sebagai figur yang harus berperan secara komprehensif, dalam berupaya mendewasakan fihak yang belum dewasa (anak didik). Kita mengetahui bahwa anak didik / siswa disifati sebagai kelompok yang belum dewasa dan guru atau pendidik dipandang sebagai unsur manusiawi yang sudah dewasa. Masalahnya bagaimana cara untuk memberikan kriteria seseorang itu dikatakan sudah dewasa. Yang jelas kedewasaan seseorang itu tidak dapat sematamata dilihat dari segi usia. Sebagai contoh disebutkan bahwa salah-satu syarat untuk menjadi guru, usianya 20 tahun. Betulkah demikian? Dalam hal ini harus diingat usia (18 tahun) ini belum tentu menjamin kernampuan dirinya sebagai guru, bila dikaitkan dengan unsur kedewasaan atau kernatangan dari segi lain. Memang ada kemungkinan besar usia yang 20 tahun itu seseorang sudah bisa mengantongi ijazah pendidikan guru (PGSD) dan secara resmi sudah dapat mengajar di Sekolah Dasar (sebelum diberlakukan PP nomor 19 Tahun 2005 tentang Standard Nasional Pendidikan, dan UU nomor 20 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Tetapi kalau dilihat dari perangkat-perangkat dan kemampuan yang lain mental masih harus dilihat lebih jauh, bagaimana profesionalisme, dan kapasitas edukasi sosialnya. Untuk mendekati permasalahan itu perlu dilihat beberapa aspek sebagai berikut:
1. Aspek kematangan jasmani.
2. Aspek kematangan rohani.
3. Aspek kematangan kehidupan sosial.
1. Aspek kematangan jasmani.
Aspek kematangan jasmani dapat dilihat dari perkembangan biologis dan usia. Pada umumnya dikatakan sudah dewasa jasmani, kalau seseorang itu sudah akil-balig. Akil-balig dari bahasa Arab yang menurut karmus bahasa Indonesia, berusia 15 tahun ke atas. Jadi kalau guru dipersyaratkan usia 20 tahun, berarti sudah memenuhi persyaratan
kematangan jasmaniah. Mengenai batas usia 15 tahun ke atas ini dilihat dari pengertian biologis adalah saat orang dinilai telah mencapai kematangan jasmani, yang dipandang sudah dapat membangun rumah tangga sendiri (?) Sampai sekarang ukuran biologis dengan akil-balig sebagai tanda kematangan atau kedewasaan itu masih tetap dipakai,
walaupun sebenamya tingkat budaya manusia sudah mengalami perubahan dan perkembangan.
Tetapi dalam kenyataannya ukuran biologis ini kalau dikaitkan dengan ukuran yang lain masih belum memadai. Bahkan bagi Indonesia juga jarang seorang yang sudah mencapai usia 15 tahun, terus mampu berumah tangga. Jadi walaupun masih tetap dipakai, ukuran biologis itu, namun kenyataan dalarn kehidupan masyarakat masih jarang dipakai sebagai kriteria kedewasaan.
2. Aspek kematangan rohani
Lain halnya dengan kematangan jasmani yang ditandai dengan dicapainya akil-balig, maka kematangan/kedewasaan dalam, arti rohani mungkin sangat bervariasi/berbeda-beda antara masyarakat/bangsa yang satu dengan masyarakat/ bangsa yang lain. Hal ini karena dipengaruhi oleh sikap tingkah laku clan budaya masyarakat yang bersangkutan. Pada masyarakat yang taraf kebudayaannya relatif rendah, maka pencapaian tingkat "kedewasaan" (menurut pandangan masyarakatnya) tidak terlalu sulit/berbelit-belit, bila dibanding dengan lingkungan masyarakat yang tuntutan budayanya lebih maju.
Dengan perkataan lain kriteria untuk menentukan kedewasaan seseorang di lingkungan masyarakat yang budayanya relatif lebih rendah, lebih sederhana, sedang untuk masyarakat yang lebih maju lebih tinggi dan kompleks. Perlu ditambahkan bahwa yang merupakan kematangan/kedewasaan rohani itu termasuk antara lain: sudah matang
dalam bertindak dan berfikir, sehingga sikap dan penampilannya menjadi semakin mantap. Menghargai dan mematuhi norma serta nilai-nilai moral yang berlaku. Seseorang yang dikatakan dewasa harus juga memiliki jiwa kepemimpinan dan dapat dicontoh oleh orang lain terutama yang ingin menuju ke tingkat kedewasaarmya. Bersifat sabar, disiplin, sopan dan ramah. Hal yang penting, adalah dapat mengendalikan gejolak emosionalnya. Orang dewasa senantiasa tidak emosional, tetapi lebih rasional, bijak dan realistis dalam berbagai tindak dan perbuatannya. Tumbuh kesadaran untuk membangun diri pribadi, keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Sifat atau ciri-ciri tersebut sudah barang tentu akan membawa konsekuensi atau akan mencakup kepada persoalan hidup seseorang itu secara luas. Sebagai contoh misalnya orang yang sudah dewasa harus sanggup hidup dan berdiri sendiri. Hidup dan berdiri sendiri ini akan menuntut konsekuensi-konsekuensi yang luas dan kompleks, seperti misaInya harus mampu memenuhi kebutuhan ekonomis, kebahagiaan diri. Untuk memenuhi kebutuhan ini, manusia harus bekerja keras dengan kemampuan, keterampilan, perasaan clan potensi-potensi yang lain.
3. Kematangan dan kedewasaan kehidupan sosial
Aspek kedewasaan sosial senantiasa berhubungan dengan kehidupan sosial, atau kehidupan bersama antar manusia. Untuk dapat bergaul dengan sesama manusia dituntut adanya kernampuan berinteraksi dan memenuhi beberapa persyaratan. Sebagai contoh harus dapat saling menghargai, saling tenggang rasa, saling tolong menolong, dapat dan
mau membela kepentingan bersama. Itu semua adalah sikap yang harus dimiliki seseorang, kalau seseorang itu hidup bersama di dalam masyarakat. Seseorang yang belum memiliki sikap seperti dikemukakan di atas, dinflai belum dewasa secara sosial. Seseorang itu boleh dikatakan masih seperti anak-anak, karena masih ambisius, mementingkan diri sendiri (individualistis).
Kedewasaan sosial itu kiranya tidak datang tiba-tiba secara kodrati, tetapi bisa datang berangsur-angsur, melalui latihan dan keterampilan, bergaul, berinteraksi dengan sesamanya. Kehidupan sosial dari tahap yang paling awal sampai pada tahap-tahap kematangannya, akan berjalan terus. Makin maju kebudayaan suatu masyarakat, makin banyak pula pengalaman yang diperoleh. Hal ini berarti akan semakin memupuk tingkat kematangan sosial bagi seseorang. Itu sebabnya untuk menjadi dewasa secara sosial harus banyak berlatih, dan belajar melalui pergaulan serta berinteraksi dengan lingkungannya. Perlu ditambahkan bahwa kedewasaan seseorang juga ditandai dengan perkembangan rasa tanggung jawab. Apabila sifat atau ciri-ciri tersebut sudah dimiliki dan diterapkan secara baik tanpa merugikan orang lain, boleh dikatakan seseorang itu sudah memiliki rasa tanggung jawab. Jadi soal tanggung jawab ini akan dapat dinilai, apabila dalam konteks hubungan hidup bersama dengan orang lain, walaupun rasa tanggung jawab itu muncul dari diri seseorang.
Dalam kaitan ini seringkali kata tanggung jawab itu dirangkai dengan kata susila, "tanggung jawab susila". Kata-kata "tanggung jawab susila- ini memiliki makna yang sangat dalam dan mutlak bagi kehidupan bangsa Indonesia. Sebab rangkaian kata-kata itu menyangkut persoalan values, dalam artian values yang menghiasi. kehidupan masyarakat. Kalau kata tanggung jawab tidak berkonotasi dengan values, tidak dirangkai dengan kata susila (walau mungkin tidak eksplisit), dapat ditafsirkan sesuka hati oleh setiap orang yang merasa memiliki kepentingan. Sebagai contoh seorang pencuri atau pencopet, karena merasa bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya, maka akan bekerja keras untuk dapat mencuri atau mencopet sesuatu milik orang lain. Atau mungkin seorang tuna susila terpaksa melakukan pekerjaan zina, karena ingin mendapatkan imbalan materi demi tanggung jawab hidupnya, entah untuk membiayai hidup keluarga atau malah ada yang mengatakan untuk biaya studinya. Ini semua adalah kasus-kasus yang berangkat dari alas an tanggung jawab yang diterjemahkan secara dangkal. Memang mungkin pekerjaan yang mereka lakukan itu betul-betul dipandang sebagai manifestasi rasa tanggung jawabnya, cukup beralasan dan rasional, tetapi kurang mendasar dilihat dari kacamata umum, apalagi kacamata bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sosio-religius. Dengan kata lain rasa tanggung jawab yang dipakai sebagai alasan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti disebut di atas, bukan merupakan tanggung jawab susila, tetapi "tanggung jawab yang a-susila". Kriteria kedewasaan seseorang yang diihat dari dimensi kematangan rasa tanggung jawab, haruslah tanggung jawab yang susila. Apalagi untuk memberikan criteria terhadap kematangan/kedewasaart bagi seorang guru, unsur "tanggung jawab susila" merupakan syarat mutlak. Sifat atau ciri-ciri kedewasaan sebagaimana diuraikan di atas, benar-benar menjadi prasyarat bagi setiap guru.
Konsisten dengan sebutan bahwa guru adalah dipandang sebagai orang yang telah dewasa, maka sifat-sifat tersebut harus dimiliki oleh setiap guru. Dengan demikian untuk menjadi tenaga guru yang betul-betul sebagai tenaga profesional
di bidang kependidikan, sebenamya belum cukup hanya dengan modal ijazah guru, tetapi harus ditambah dengan kemampuan-kemampuan teknis operasional serta persepsi-persepsi filosofis, terutama yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan berinteraksi dengan fihak lain. Jadi harus ditegaskan bahwa di dalam kegiatan interaksi dengan fihak lain atau
interaksi pembelajaran itu tidak sekedar membutuhkan keterampilan teknis, tetapi juga memahami nilai-nilai filosofis, menghayati tentang hakikat manusia, "siapa dia guru", dan "siapa mereka siswa". Kalau sernua ini disadari oleh semua fihak (guru maupun siswa), maka interaksi pembelajaran yang berintikan pada kegiatan motivasi itu akan berjalan lancer dan optimal.

REKRUTMEN GURU
Pemerintah pusat melalui kebijakan barunya dengan merekrut sejuta guru untuk di seluruh wilayah Republik Indonesia, merupakan kebijakan yang patut untuk di dukung. Pola sentralistik yang dilakukan memang ada nilai plus dan minusnya bagi daerah, namun bila dilihat dan kondisi lapangan, serta hasil dari pelaksanaan penerimaan CPNS baru-baru ini sangat jelas banyak nilai minusnya khususnya bagi daerah. Apa yang terjadi ? karena strandard yang digunakan secara nasional, sehingga banyak daerah yang tidak mencapai standard yang ditentukan oleh pusat, konsekuensi logisnya banyak tidak tercapai kuota yang sudah ditentukan oleh pemerintah pusat, karena lulusan tidak mencapai level standard yang baku. Khusus tenaga pendidik (guru), bila standarisasi pemerintah pusat tidak terpenuhi, maka, skore yang mendekati di bawah standard perlu dipertimbangkan. Karena saat ini kita kekurangan tenaga guru yang cukup signifikan, dan hendaknya jangan hanya jangka tiga tahun pemerintah mengangkat sejuta CPNS, akan tetapi setiap tahunnya pemerintah harus mempertimbangkan pengangkat untuk tenaga guru.
Bila kekurangan tenaga guru tidak segera diantisipasi melalui rekrutmen tenaga guru, maka tidak mustahil akan berdampak kepada mutu pendidikan. Kondisi mutu pendidikan kita sekarang rendah paling tidak dipengaruhi oleh mutu guru itu sendiri, apalagi jumlah guru sangat kurang. Berbicara tentang mutu pendidikan guru merupakan lingkaran setan”, dari arah mana kita harus memulainya. Jalan keluar yang akan kita lakukan diawali dengan rekrutmen calon guru itu sendiri. Pola yang berlaku sekarang tidak cocok bagi calon guru, dan mungkin cocok bagi non guru. Oleh sebab itu ke depan memang sudah dipikirkan solusi dalam penerimaan calon mahasiswa LPTK, sehingga pola SPMB yang selama ini berlaku tidak menjaring calon guru yang memenuhi criteria guru. Tidak mustahil lulusan SPMB yang memilih LPTK memiliki cacat jasmani maupun rohani, sehingga akan dapat memberikan dampak terhadap proses pembelajaran di kelas.
Dulu untuk menjadi guru, merupakan murid pintar dan pandai, mereka yang terpilih dan berhasil lulus merupakan murid yang teruji, baik ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap, dedikasi keguruannya. Mereka diuji secara teoritis dan praktis, sehingga mereka yang masuk benar-benar berkualitas, belum lagi pengujian terhadap sikap dan mental mereka, fisik, dan banyak ujian-ujian lain yang harus mereka tempuh untuk menjadi calon sekolah guru. Mereka-mereka ini diterima dengan berbagai macam ujian, selanjutnya oleh pemerintah mereka diberikan ikatan dinas, selama mereka menuntut ilmu mereka sudah dijamin oleh pemerintah, dan bila telah menyelesaikan pendidikan, mereka langsung diangkat menjadi guru, dan ditempatkan dimana saja oleh pemerintah, dan tidak diizinkan pula untuk memilih lokasi yang diinginkan oleh yang bersangkutan.
Jumlah rekrutmen guru yang dilakukan pemerintah pusat, belum memuaskan kita bersama, hendaknya sejuta CPNS tersebut diperuntukan untuk tenaga guru, dan sejuta lagi untuk non guru. Apalah artinya republik ini kalau guru yang bertanggungjawab di dalam meningkatkan SDM bangsanya masih kurang, bagaimana pula mutu pendidikan akan dapat kita tingkatkan.
Perlu dilakukan antisipasi khususnya pemerintah daerah, mulai dari propinsi, kabupaten/kota, secara bersama - sama untuk memikirkan kekurangan guru, dan secara bersama-sama pula melakukan rekrutmen tenaga guru, baik untuk guru kontrak maupun guru bantu, atau sebutan apa namanya, yang penting masing-masing kabupaten dan kota
melakukan rekrutmen guru secara bertahap. Tentunya rekrutmen guru berdasarkan jumlah kekurangan masing-masing daerah, dan sediakan dana melalui APBD daerah kabupaten/kota masing-masing. Bila pengambil kebijakan kabupaten dan kota mau dan mau mengalokasikan dana untuk rekrutmen tenaga guru daerah, maka kendala kekurangan guru dapat dianulir dan diantisipasi. Apabila Pemerintah daerah kabupaten dan kota bisa mengangkat 100 orang setiap tahun, dan dana yang dikeluarkan perguru Rp 1.000.000/perbulan, maka alokasi dana untuk itu baru 1 milyar, dan dalam jangka 10 tahun baru 10 milyar dan itu logis. Mereka-mereka ini adalah putra daerah tempatan, dan tentunya mereka memiliki tanggungjawab moral untuk membangun daerahnya.
Rekrutmen guru melalui kebijakan daerah sangat dan sangat perlu dilakukan, bila kita berharap melalui kebijakan rekrutmen guru melalui pemerintah pusat, maka tiga puluh tahun ke depanpun kita masih kekurangan tenaga guru. Apalah artinya republik ini bila tenaga guru tidak dipikirkan, kekurangan tenaga guru akan berdampak kepada pembangunan bangsa.
Dalam rekrutmen guru tersebut, Pemerintah Daerah tidak meninggalkan serta merta apa yang disebutkan di atas, tentang persyaratan untuk menjadi guru. Selain itu di dalam pelaksanaan rekrutmen juga hendaknya dapat mengacu pada UU nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, telah menggariskan bahwa semua guru memiliki kompetensi dasar, dan kompetensi tersebut adalah :
1. kompetensi pedagogik
2. Kompetensi kepribadian
3. Kompetensi sosial
4. Kompetensi professional.
Di dalam rekrutmen guru, beberapa hal yang perlu menjadi catatan tambahan bagi pengambil kebijakan, dan ini aturan yang perlu kita tegakkan dan sebagai sebuah criteria di dalam rekrutmen guru antara lain :

1. Memiliki ijazah berlatar belakang pendidikan atau non kependidikan setelah mereka
     memperoleh sertifikasi profesi (Akta)
2. Tidak membedakan jenis kelamin, dan menjauhkan berbau sara
3. Melakukan dua kali seleksi, tertulis dan tidak tertulis (psikotes)
4. Pemagangan/pembekalan kepada mereka yang sudah lulus, sebelum terjun menjadi
    guru.
5. Bersedia mengikuti berbagai workshop, diklat maupun lokakarya yang dilaksanakan
    baik, local, regional, nasional maupun internasional.
6. Menandatangani kontrak, dan siap melaksanakan tugas di mana saja

PENUTUP
Penegakkan dan kreteria di dalam rekrutmen untuk guru perlu dibuatkan rambu-rambunya. Sehingga upaya kita di dalam mewujudkan guru yang professional yang memiliki visioner dapat dilakukan. Akan memudahkan para pengambil keputusan di dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pejabatstruktural.
Bila hal ini benar-benar dilakukan, maka tujuan kita untuk mewujudkan pendidikan bermutu akan dapat kita capai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar