Senin, 31 Mei 2010

ayat2 cinta

Di luar dugaan, tanggal 14 Maret 2008 saya sudah menonton film Ayat Ayat Cinta (AAC), melalui proses yang sangat mendadak, sampai-sampai saya sulit menceritakan kronologisnya.

Yang jelas begini:

Saya tahu banyak orang yang kecewa terhadap film ini. Karena itu, sejak awal, jauh sebelum film ini diputar di bioskop, saya sudah menulis artikel tentang "Tiga Bekal Sebelum Menonton Film Ayat Ayat Cinta ." Tentu, saya pun harus mempraktekkan ketiga bekal tersebut sebelum menonton.

Hasilnya, alhamdulillah saya tidak kecewa. Ketika Fahri dan Aisha pada film ini berbeda dengan Fahri dan Aisha versi novelnya, saya menganggap itu wajar-wajar saja.

Pada novel, Fahri ditampilkan sebagai sosok "ikhwah"(*) yang sangat sempurna. Tapi di film, Fahri cenderung emosional dan - setuju dengan pendapat Asma Nadia - sikapnya seperti suami takut istri. Fahri versi novel yang sangat pintar dalam ilmu agama, menjadi terlihat bego ketika ia - pada versi film - digurui oleh sahabatnya Saiful mengenai ta'aruf.

Sementara Aisha versi film terlihat sebagai sosok yang kontradiktif:

Di satu sisi dia lebih banyak terlihat sebagai seorang istri pecemburu dan dominan dalam keluarga. Ia judes dan jauh dari bijaksana. Kegusarannya ketika menyadari "saya belum kenal siapa suami saya" dan mengobrak-abrik koleksi buku Fahri, adalah sikap yang sangat mengherankan bagi kalangan "ikhwah"(*). Dengan kata lain, pada sisi ini Aisha terlihat sebagai seorang perempuan yang hidupnya masih jauh dari nilai-nilai Islam.

Tapi ketika Aisha terlihat rela dan lapang dada, mengizinkan suaminya menikah lagi dengan Maria, di sisi inilah saya melihat keteguhan hati seorang muslimah sejati. Aisha terlihat amat memahami dan menjiwai nilai-nilai Islam yang sebenarnya.

Dari segi "teori" cerita fiksi, karakter Aisha yang kontradiktif ini terlihat SANGAT ANEH. Dan inilah menurut saya salah satu "kesalahan utama" film AAC.

Menurut Mas Akmal, satu-satunya tokoh di film AAC yang mirip dengan tokoh versi novel adalah Maria. Saya setuju! Tapi Noura dan Nurul versi film - menurut saya - juga tak kalah mirip dengan versi novelnya.

Sayangnya, perhatian penonton "kalangan ikhwah"(*) justru tertuju pada sosok Fahri dan Aisha, sebab kedua tokoh inilah yang paling "gue banget" bagi mereka. Jadi ketika Fahri dan Aisha ditampilkan sebagai tokoh yang "lebih manusiawi", sosok yang tidak sesuai dengan "karakter ikhwah sejati"(*), saya menemukan alasan kenapa banyak orang yang kecewa bahkan memprotes film ini sebagai produk yang menghina Islam!

Saya bisa memaklumi "kemarahan" seperti itu. Tapi di sisi lain, saya juga menyayangkan karena "kemarahan" tersebut sepertinya menunjukkan sikap yang kurang bisa memahami proses kreatif di balik pembuatan film AAC.

Film ini dibuat oleh seseorang yang sepertinya (maaf bila keliru) belum pernah "bersentuhan" dengan "kalangan ikhwah"(*). Jadi bila Mas Hanung menghadirkan Fahri dan Aisha versi film sesuai dengan persepsi dia yang "kurang tepat" mengenai "sosok ikhwah sejati"(*), saya kira itu wajar-wajar saja. Mungkin demikianlah persepsi Mas Hanung terhadap "orang Islam yang alim". Itu juga mungkin sebuah upaya Mas Hanung untuk membuat Fahri dan Aisha sebagai sosok yang lebih manusiawi.

Jadi, itu bukan sebuah upaya untuk menghina Islam, saya kira. Bagaimanapun, Mas Hanung juga seorang muslim, dan Habiburrahman El Shirazy selaku penulis novel AAC juga dilibatkan dalam proses pembuatan film ini. Mustahil rasanya bila mereka berdua berniat membuat film yang isinya menghina Islam.

* * *

Saya berpendapat bahwa ketika sebuah novel diangkat menjadi film, seharusnya si sutradara menerjemahkan novel tersebut berdasarkan sudut pandang yang unik, sesuai persepsi dia mengenai novel tersebut. Dalam hal ini, saya kira Mas Hanung sudah cukup berhasil.

Dalam persepsi saya (maaf bila keliru), tema atau sudut pandang yang diangkat pada film AAC ini adalah tentang jodoh. Dialog paling penting adalah ketika Fahri dan Maria berbincang di Sungai Nil, dan dialog ini dipertegas kembali di bagian ending:

"Kamu percaya pada jodoh, Fahri?"

"Ya, setiap orang memiliki…."

"... jodohnya masing-masing. Itu yang sering kamu ucapkan, bukan?"'

Mereka juga bercerita bahwa Sungai Nil dan Mesir adalah jodoh. Di bagian ending, Fahri menganalogikan dirinya sebagai Mesir dan Maria adalah Sungai Nil. "Kamu telah menemukan jodohmu, Maria."

Dialog-dialog ini tentu saja tidak terdapat pada novel AAC. Saya kira, ini adalah salah satu upaya Mas Hanung untuk mempertegas sudut pandang dan tema utama tentang jodoh yang hendak ia tonjolkan. Bagi saya, ini sah-sah saja bahkan sangat bagus. Sebab film yang diangkat dari novel memang harus dibuat dengan pendekatan dan sudut pandangan yang berbeda dari "produk aslinya". Jangan sampai muncul kesan bahwa film tak lebih dari sekadar ringkasan si novel. Bagaimanapun film dan novel adalah dua produk yang sangat jauh berbeda.

Dengan sudut pandang dan tema utama unik yang diangkat oleh Mas Hanung, saya berpendapat bahwa tokoh sentral pada film AAC hanya dua orang. Seandainya terjadi sebuah keadaan yang sangat darurat, di mana Mas Hanung dan timnya terpaksa hanya menghadirkan DUA tokoh saja di dalam film ini, maka kedua tokoh itu adalah Fahri dan Maria. Sebab mereka adalah tokoh paling penting dan paling berperan dalam KEUTUHAN CERITA film ini.

Bahkan pernikahan Fahri dengan Aisha, juga tindakan Noura yang memfitnah Fahri, merupakan unsur-unsur yang memperkuat hubungan Fahri dengan Maria. Seperti yang kita saksikan bersama, kejadian-kejadian yang dialami Fahri bersama Aisha dan Noura adalah kejadian-kejadian yang pada akhirnya mempersatukan Fahri dan Maria di dalam pernikahan.

Ya, demikianlah persepsi saya setelah menyaksikan film AAC. Jika memang benar Mas Hanung mengambil sudut pandang seperti yang saya ceritakan, maka saya angkat topi pada dia. Mas Hanung telah berhasil menyajikan film AAC dengan sudut pandang dan persepsi yang benar-benar berbeda dibanding novelnya.

Saya telah berusaha semaksimal mungkin untuk meng-amnesia-kan diri dari novel AAC sebelum menonton film ini, sesuai anjuran yang pernah saya tulis . Maka alhamdulillah saya akhirnya bisa melihat film ini sebagai sebuah produk yang tidak ada kaitan apapun dengan novelnya. Dengan cara ini, saya tidak sampai kecewa dan marah-marah ketika melihat banyak hal pada film ini yang JAUH BERBEDA dengan versi novelnya.

* * *

Awalnya, saya heran atas adegan tambahan mengenai "aktivitas poligami" di rumah Aisha, persaingan kedua istri untuk merebut perhatian Fahri, dan rasa cemburu Aisha yang membuat dia memutuskan untuk pergi ke Turki.

Sesuai pendapat yang tersaji di atas, saya tidak mempermasalahkan bila ada "adegan tambahan" pada film yang tidak terdapat pada novelnya. Itu sah-sah saja, sebab itu mungkin bagian dari persepsi dan sudut pandang subjektif si sutradara.

Tapi, dengan wawasan perfilman saya yang sangat minim, AWALNYA saya melihat bahwa adegan-adegan tersebut tidak penting. Tapi kemudian saya berubah pikiran. Mungkin lewat adegan-adegan tambahan ini, Mas Hanung ingin lebih mempertegas sudut pandang dan tema utama tentang perjodohan Fahri dan Maria. Adegan-adegan inilah yang akhirnya menghadirkan sebuah ucapan penting Maria, "Sekarang saya baru sadar, ternyata 'cinta' dan 'keinginan untuk memiliki' adalah dua hal yang berbeda."

* * *

Dengan sudut pandang dan persepsi Mas Hanung yang benar-benar berbeda dari versi novelnya, saya setuju bahwa film AAC lebih terkesan sebagai film "drama percintaan". Jadi sangat tepat ucapan yang pernah dilontarkan Mas Hanung, "Film AAC akan seperti Heart. Bedanya, pada AAC banyak muncul sosok perempuan berjilbab."

Lantas, di manakah letak "Islam" pada film ini?

Menurut saya, Islam pada film AAC lebih banyak terlihat pada unsur-unsur:

*
simbolis (jilbab, cadar, baju koko, pengajian, ucapan "Assallamualaikum"),
*
dialog antara Fahri dengan Alicia tentang posisi perempuan dalam Islam,
*
adegan poligami yang benar-benar menyentuh dan berakhir dengan happy ending,
*
pertengkaran di kereta api,
*
adegan ketika Maria memuji Islam lewat buku hariannya,
*
adegan ketika Maria meninggal dunia dalam keadaan sedang shalat,
*
proses ta'aruf antara Fahri dengan Aisha,
*
dan beberapa adegan lainnya.

Namun, menurut saya, adegan-adegan di atas bukanlah RUH UTAMA dari film ini. Ruh utamanya tetaplah masalah perjodohan dan hubungan unik antara Fahri dengan Maria.

Jadi bagi Anda para "ikhwah"(*) yang kecewa terhadap film ini, saya bisa maklum sekarang. Agar kekecewaan Anda berkurang bahkan hilang, saran saya berhentilah menganggap bahwa film AAC adalah film yang mengusung dakwah Islam. Memang ada dakwah di dalamnya, tapi itu bukan "jualan utama" film ini. Unsur dakwah pada film AAC hanya semacam "bonus tambahan" ketika kita membeli sebuah produk.

Cilangkap, 14 Maret 2008

Jonru

NB:

1.
(*) Sejujurnya, saya menggunakan istilah ikhwah hanya demi kepentingan praktis belaka. Saya berpendapat bahwa "ikhwah" bukanlah istilah yang ditujukan khusus bagi kalangan "harokah" tertentu. Istilah ini memiliki pengertian yang jauh lebih luas. Namun, saya dengan amat terpaksa "ikut arus", mengikuti salah kaprah yang selama ini sudah sangat kronis mengenai istilah "ikhwah", hanya demi tujuan praktis dan pragmatis belaka. Harap maklum.
2.
Banyak teman yang merasa heran pada karakter "pria di penjara" yang berwajah seram dan terlihat bejat, tapi sangat fasih ketika menasehati Fahri, seolah-olah dia adalah seorang ulama kondang. Bila si pria ini adalah orang Indonesia dan setting film ini memang di Tanah Air, terus terang saya juga sangat heran. Tapi si pria ini adalah orang Mesir, maka saya menemukan konteks yang masuk akal atas "keanehan" dia. Dari novel AAC, saya mendapat kesimpulan bahwa masyarakat Mesir memang punya karakter seperti itu; sebejat apapun, mereka tetap fasih dalam menyuarakan nilai-nilai Islam.
3.
Saya terus terang sangat terganggu oleh ucapan "Assallamualaikum" dari Maria dan Alicia, lalu dengan amat konyolnya disahut "waalaikumsalam" oleh Fahri dan teman-teman satu asramanya. Para mahasiswa Al Azhar ini seharusnya sangat paham akan ajaran Islam. Jadi mereka seharusnya tahu bagaimana cara yang baik dan benar dalam menyahut ucapan "Assallamualaikum" dari nonmuslim.
4.
Dari semua ulasan film AAC yang pernah saya baca, saya berpendapat bahwa tulisan Imponk termasuk ulasan yang cukup baik, fair, dan membuat saya mengangguk-angguk setuju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar