Minggu, 30 Mei 2010

kontropersi dlm ayat2 cinta

Novel ‘Ayat-ayat Cinta’ yang sudah 30 kali cetak ulang dengan tiras 500 ribu eksemplar ternyata mengundang kontroversi. Kalangan Islam tertentu menuduh penulisnya agen Zionis. Benarkar?

Tak Punya Ayat-ayat Cinta? Datang Saja ke Islamic Book Fair. Begitu judul berita detikcom pada 1 Maret lalu. Situs ini sejatinya memberitakan tentang Islamic Book Fair ketujuh di Istora Senayan, Jakarta, mulai 1 Maret sampai 9 Maret. Novel karya Habiburrahman el-Shirazy ini sangat diminati banyak kalangan sehingga menjadi daya pikat untuk ditonjolkan sebagai judul.

Ya. Boleh dibilang novel ini memang fenomenal. Di samping soal cinta, dia mengajarkan bagaimana seorang muslim mengelola perasaannya dengan baik. Banyak yang menyebut inilah novel sastra yang berhasil memadukan dakwah, tema cinta dan latar belakang budaya suatu bangsa. Novel best seller pada tahun ini, sehingga produsen pun memfilmkannya serta merambah negeri Jiran Malaysia. Dia dipuji sekaligus dimaki.

Harian Republika menempatkan sang penulis ke posisi ‘Tokoh Perubahan 2007’. Tapi, majalah Islam Mujahidin justru menuduhnya sebagai agen Zionis, Israel. Mengapa?


Habiburrahman el-Shirazy, menurut Mujahidin, tak lebih seperti sastrawan dan budayawan Mesir Mahmud Abbas al-Aqqad, Thaha Husein dan lainnya, yang menjadi makelar zionis melalui gagasan multikultural dan multikeyakinan.

“Membaca novel Ayat-ayat Cinta menyisakan beragam kesan, mungkinkah penulisnya dianggap figur yang tepat sebagai makelar zionisme melalui misi pluralisme agama?” begitu risalah dalam Mujaidin edisi 17 Shafar 1429 H.

Menurut majalah ini, begitu gegap gempita publikasi novel Ayat-ayat Cinta, menyebabkan banyak pembaca kehilangan daya kritis. “Sehingga, ketika nyala api pluralisme menerobos masuk imajinasi penulis, tak dirasakan adanya. Pada mulanya, barangkali sekadar titipan ide, namun jelas titipan dimaksud menjadi ide sentral rangkaian kisah cerita novel ‘Ayat-ayat Cinta’.”

‘Kejadian di Dalam Metro’, berlangsung cekcok antara rombongan turis Amerika dengan penumpang asli Mesir yang meledakkan amarahnya kepada bule-bule itu, sebagai ganti kejengkelan mereka kepada pemerintah Amerika yang arogan dan membantai umat Islam di Afghanistan, Iraq, dan Palestina.

Rupanya pada bagian inilah yang menjadi titik masalahnya. “Dalam cekcok tersebut penulis menyalahkan orang Mesir, dan memosisikan turis kafir yang berkunjung ke negara-negara berpenduduk Islam seperti Mesir sebagai ahludz dzimmah yang memiliki hak-hak kekebalan diplomatik, dengan memanipulasi dalil agama.”

Dalam ‘Ayat-ayat Cinta’ disebutkan Ahlu dzimmah adalah semua non-Muslim yang berada di dalam negara kaum Muslimin, masuk secara legal, membayar visa, punya paspor, hukumnya sama dengan ahlu dzimmah, darah dan kehormatan mereka harus dilindungi. “Barangsiapa menyakiti orang dzimmi, dia telah menyakiti diriku, dan siapa yang menyakiti diriku berarti dia menyakiti Allah.”

Mengomentari kalimat tersebut Mujahidin menulis: “Menempatkan turis asing sebagai dzimmi di negeri Muslim bukan saja tidak memiliki argumentasi syar’iyah, tetapi juga merusak tatanan syar’i secara keseluruhan.”

Persoalannya, bukan pada perlakuan kasar atau halus terhadap turis, melainkan pada posisi yang disematkan, bahwa sesungguhnya kedudukan turis tidak sama dengan ahludz dzimmah, baik hak maupun kewajibannya. Pembayaran visa tidak bisa disamakan dengan jizyah. Sebab, legalitas hukum bagi turis dan ahludz dzimmah memiliki perbedaan-perbedaan, sehingga mengakibatkan konsekuensi hukum yang berbeda pula.

Perbedaan itu antara lain, pertama, ahludz dzimmah (dzimmi) adalah orang kafir yang menjadi warganegara Negara Islam. Sedangkan turis tidak memiliki hak kewarganegaraan, tetapi hanya memiliki hak pelayanan sebagai tamu. Kedua, dzimmi mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Bilamana pemerintah tidak bisa memenuhi hak kewarganegaraan orang dzimmi, maka mereka tidak wajib lagi membayar jizyah (pajak). Sedangkan pembayaran visa bagi turis yang berkunjung ke sebuah negara Islam tidak dapat dianggap sebagai jizyah, karena orang Islam yang bukan penduduk negara yang dikunjunginya juga harus membayar visa. Lalu Mujadin mempertanyakan: “Apakah orang Islam yang berkunjung ke negara Islam juga dianggap dzimmi oleh pemerintah negara tempat dia berwisata?”

Ketiga, lanjut Mujahidn, pada keadaan darurat, pemerintah negara Islam dapat mewajibkan penduduk dzimmi untuk menjalani wajib militer. Berbeda dengan turis, apabila datang ke suatu negara yang sedang dalam keadaan darurat perang tidak bisa dipaksa ikut wajib militer bagi negeri yang dikunjunginya.

“Perbedaan prinsip di atas, nampaknya kurang dipahami oleh penulis novel, dan lebih terpesona dengan misi kemanusiaan global yang menjadi gerak nafas pluralisme; sehingga menghilangkan kewaspadaan.”

Boleh jadi turis itu justru musuh yang sedang menyamar, meneliti, atau menjalankan misi intelejen. “Novelis muda lulusan filsafat Universitas Al-Azhar, Cairo, itu bergaya bagai ulama besar ahli fiqih dan ahli hadits berkaliber dunia, lalu mengintroduksi hadits dzimmi sebagai ‘ijtihad cemerlang’,” sindir Mujadin.

Selanjutnya Muhadin menulis: Untuk menetralisir kecurigaan, dan menangkal virus berbahaya terutama bagi pembaca muda yang jadi sasaran utama novel ini, sebenarnya penulis dapat mengimbanginya dengan wacana pemikiran yang adil, bahwa dalam banyak kasus kedatangan turis-turis kafir di negeri Islam membawa dampak kerusakan moral dan sosial di tengah masyarakat muslim.

Bahkan, tulisnya lagi, sebagian sengaja disusupkan sebagai mata-mata terselubung. “Fakta ini dapat terlihat jelas dan ditemukan oleh para pejabat intelijen negara bahwa turis biasa dipakai kedok olah para agen intelijen untuk menjalankan operasinya. Namun, penulis lebih mendahulukan ‘baik sangka’ daripada waspada, suatu sikap yang telah membuat umat Islam berulangkali tertipu dan dininabobokkan gagasan harmonisasi antar umat beragama, tanpa mempertimbangkan akibatnya yang berbahaya.”

Dilihat dari simplifikasi penggunaan dalil-dalil agama untuk menopang argumentasi, dan memanipulasi tujuan politik yang halus, tulis Mujahidin, merupakan ciri khas komprador zionisme yang bergentayangan di tengah-tengah masyarakat Muslim. Maka, bukan mustahil novel ‘Ayat-ayat Cinta’ menjadi pembuluh darah halus yang mengalirkan misi pluralisme agama yang telah diformat oleh zionisme internasional dan dipasarkan di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia.

Begitulah Mujahidin. Boleh jadi sang penulis tak menduga bakal mendapatkan serangan seperti itu.

Sesungguhnya novel ini adalah juga novel asmara. Kehidupan Fahri diwarnai dengan kisah hubungan lelaki dan perempuan. Perasaan Fahri diceritakan dengan baik ketika ia harus menjadi rebutan tiga orang perempuan. Pada bagian cerita bulan madu Fahri dan Aisha jelas sekali digambarkan terjadinya adegan percintaan yang selalu merupakan bagian penting dari disebutnya novel asmara. Di sinilah kelebihan lain novel ini yang menceritakan hubungan suami-istri namun tidak terjatuh ke dalam kevulgaran.

Pencinta sastra islami selama ini sering menuduh, sastra sekuler sebagai sastra profan (menurut Kamus Merriam-Webster, profane berarti ‘yang merendahkan atau menodai sesuatu yang suci’). Sementara di sisi lain, pencinta sastra sekuler menuduh sastra islami kehilangan nilai sastranya hingga buku sastra tidak lain adalah buku agama.

Hal ini bisa dipahami jika kita melihat bahwa banyak tulisan yang mengaku sebagai sastra islami menjadikan sastra sebagai alat berdakwah tetapi penulisnya lupa untuk menghias alat dakwah itu sendiri. Maka tersajilah pesan moral agama itu secara terbuka dan sangat jelas. Bagi sebagian kelompok orang, pesan-pesan seperti ini akan menjadi sesuatu yang vulgar.

Cara pandang Mujahidin terhadap “Ayat-ayat Cinta’ sah-sah saja. Akan tetapi bahwa ada kebaikan, cinta dan nilai yang diselipkan dalam karya sastra ini juga tidak bisa ditampik. Jadi biarlah pembaca yang menilai.

Kini, yang pasti, sangat langka karya sastra yang mampu menyedot begitu besar perhatian masyarakat untuk membeli, apalagi untuk karya sastra islami. Setelah Buya Hamka, sampai kini belum muncul penulis besar yang karya-karyanya berpengaruh dari kalangan santri. Inilah yang mesti menjadi pekerjaan rumah buat kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar