Senin, 31 Mei 2010

ktaika cinta bertasbi

Film Ketika Cinta Bertasbih (disutradarai Chairul Umam) dibuat berdasarkan novel laris karya Habiburrahman Shirazy, penulis buku yang juga menulis Ayat-Ayat Cinta, novel lain yang meraup untung besar ketika diadaptasi ke layar lebar. Pemutaran perdana Ketika Cinta Bertasbih (KCB) berlangsung pada 11 Juni 2009. Namun bahkan ketika baru memasuki masa pra produksi pada tahun 2008, KCB telah menjadi fenomena film Indonesia.

Audisi untuk film ini berlangsung sekitar tiga setengah bulan, dan dilakukan di sembilan kota. Sebuah acara televisi khusus dibuat untuk memungkinkan penonton mengikuti proses audisi, dan finalnya disiarkan nasional pada 14 September 2008.

Para kandidat harus menunjukkan bahwa mereka dapat membacakan Al Qur'an secara lancar dan menunjukkan bahwa mereka menjalankan nilai-nilai Islami dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dewan juri audisi film itu terdiri atas tokoh-tokoh Islam terkemuka di bidang seni dan industri hiburan seperti aktris Neno Warisman dan juga Habiburrahman Shirazy.

Promosi besar-besar pra peluncuran mengklaim bahwa KCB akan menjadi 'film besar', dan 'film Indonesia pertama yang diproduksi di Mesir'. Billboard raksasa di jalan-jalan utama merupakan bagian dari promosi. 'Siap mengguncang delapan negara’ merupakan klaim mereka. Setelah peluncuran film itu, promosi berlanjut. 'Satu juta penonton sebulan setelah pemutaran perdana!' menjadi 'dua juta penonton setelah dua bulan pemutaran perdana!' Billboard lain mengumumkan undian promosinya, 'Menangkan tur ke tempat syuting KCB!'

Dengan bermodal 40 miliar rupiah, KCB menjadi film termahal yang diproduksi Indonesia. Pada pekan pertama setelah pemutaran perdana, KCB diputar di 148 bioskop di seluruh Indonesia, memecahkan rekor sebelumnya, Laskar Pelangi (2008) karya sutradara Riri Riza yang diputar di 115 bioskop pada pekan pertamanya. Sekuelnya, KCB2, diluncurkan pada tanggal 17 September lalu, beberapa hari menjelang Idul Fitr







Pictures kini mengadaptasi novel Ketika Cinta Bertasbih secara utuh ke layar lebar. Dengan melibatkan langsung Habibburahman El Shirazy, sang penulis novel, dan melakukan audisi untuk mendapatkan pemeran yang memiliki karakter tak jauh dari tokoh dalam novelnya. Hingga menggaet Chaerul Umam untuk kembali menyutradarai setelah selama 11 tahun absen dari panggung layar lebar tanah air.

Ketika Cinta Bertasbih berfokus pada perjalanan tokoh Khairul Azzam (M. Kholidi Asadil Alam), seorang mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Universitas Al Azhar Kairo-Mesir. Kuliahnya tertunda selama 9 tahun setelah ayahnya meninggal dunia. Maka demi menghidupi dirinya dan keluarganya di Solo, Azzam berdagang bakso dan tempe di Kairo-Mesir. Dari pekerjaan yang dijalaninya, Azzam menjadi terkenal di kalangan KBRI di Kairo, dan mempertemukannya dengan Eliana (Alice Sofie Norin), gadis cantik nan modern, putri Dubes RI di Mesir.
Kehidupan dan kisah cinta Azzam yang berliku tidak sekedar memberikan pencerahan jiwa, namun mengajak penonton untuk lebih mendalami rahasia Illahi dan memaknai cinta. Kehadiran Anna (Oki Setiana Dewi), seorang wanita Islami yang menggoda hati Azzam menjadi unsur yang mengikat keduanya dalam sebuah misteri cinta yang seolah tak berujung. Dikemas dengan manis dalam sudut pandang yang sangat berbeda dari film-film drama romantis pada umumnya. Peran adiknya bernama Husna (Meyda Sefira), serta Furqan (Andi Arsyil) teman kuliahnya yang juga berasal dari Indonesia dan terinfeksi AIDS merangkum perjalanan hidup Azzam menjadi sebuah cerita yang sangat bernilai.

Film ini juga didukung oleh belasan artis kawakan senior papan atas, seperti Deddy Mizwar, Didi Petet, Slamet Rahardjo, Ninik L Karim, Nungki Kusumastuti, bahkan sastrawan-Taufik Ismail pun muncul sebagai cameo. Ilustrasi musik dan soundtrack ditangani oleh Melly Goeslaw dan Anto Hoed. Tak ketinggalan Krisdayanti ikut tampil sebagai salah satu pengisi album soundtrack Mega Film Ketika Cinta Bertasbih.

Seluruh latar belakang dalam novel dihidupkan dengan pengambilan gambar dari lokasi sebenarnya di Kairo, Mesir. Syuting dilakukan sejak Oktober 2008, bertempat di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Mesir, seputar Kota Kairo dan Alexandria, Bandar Udara Internasional Kairo, Sungai Nil, Piramid Giza, bahkan Universitas Al Azhar yang selama ini tidak memperbolehkan film asing melakukan syuting di lokasi tersebut. Penggambaran setting yang begitu indah dan menganggumkan merupakan nilai plus dari film ini, yang tidak ditemukan dalam film nasional di beberapa dekade terakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar