Senin, 31 Mei 2010

sery

Nama : sry rahayu
Npm : 09042302
Prody : pbsid II` B
Mk : sastra perbandingan


Sastra terbagi atas dua macam yaitu sastra imajinasi dan satra bukan imajinasi.
Novel termasuk kedalam prosa fiksi. Novel adalah cerita berbentuk prosa yang memiliki ukuran yang luas, dikatakan luas yaitu ceritanya tampak lebih mengembang dan kompleks. Ilustrasinya, jika anda menonton sebuah sinetron, maka anda akan melihat dalam sinetron tersebut ditampilkan berbagai konflik diantara tokoh yang berbeda. Sama juga dengan suasana dan latar ceritanya lebih mengembang dan komfleks. Satra sering sekali dipahami secara dangkal oleh beberapa kelompok masyarakat kita. Sastra diangap sebagai aktivitas manusia yang membuang-buang waktu. Sastra bahkan dipandang sebelah mata yang tidak memiliki kontribusi bagi perkembangan peradaban manusia.
Menurut kamus bahasa Indonesia kontribusi adalah penghasilan.
Dalam novel sang pemimpi banyak mengajarkan kita untuk percaya diri atas kondisi apapun. Sang pemimpi adalah sebuah lantunan kisah kehidupan yang mempesona dan akan membuat pembaca percaya pada tenaga cinta, tenaga mimpi dan pengorbanan. Lebih dari itu , akan membuat para pembaca percaya pada Tuhan. Dalam novel sang pemimpi kita pembaca dapat menerobos sudut-sudut pemikiran dimana pembaca akan menemukan pandangan yang berbeda tentang nasip.
Didalam novel terdapat unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur yang berada didalam cerita sedangkan ekstrisik ialah unsur yang terdapat di luar cerita.unsur intrinsik meliputi tema, amanat ( tendens), tokoh, alur, setting ( latar), sudut pandang dan gaya peceritaan. Sedangkan unsur-unsur ekstrinsiknya adalah budaya, agama, social, hokum dan lain-lain.
Unsur-unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih khusus lagi ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, tetapi tidak menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkannya. Pemahaman unsur ekstrinsik suatu karya sastra, bagaimanapun, akan membantu dalam hal pemahaman makna karya itu mengingat bahwa karya sastra tak muncul dari situasi kekosongan budaya. Bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung atau tidak langsung. Akan tetapi, sebenarnya pemilahan itu hanya demi praktisnya saja sebab mungkin saja ada pesan yang bersifat agak langsung. Dalam karya sastra mungkin sekali ditemukan adanya pesan yang betul-betul tersebunyi sehingga sulit untuk dirasakan. Nilai kebudayaan sebagai hasil budidaya dan berkembang di masyarakat sangat berpengaruh terhadap karya sastra yang dihasilkannya. Nilai-nilai inilah yang menjiwai karya sastra dan memberikan warna tersendiri bagi makna karya sastra yang dihasilkannya. Sebagai contoh, roman Grotta Azzura karya Sutan Takdir Alisyahbana yang menceritakan perilaku budaya orang yang mestinya dijajah. Menurutnya dalam roman itu bahwa bangsa yang terjajah mestinya harus dapat mengambil hikmah dan belajar dari penjajahan itu sendiri. Setidaknya dengan kemauan keras untuk belajar dari kenyataan sejarah itu, akan mampu mewujudkan generasi yang lebih baik, lebih maju, sehingga pada gilirannya akan mampu tampil sebagai generasi yang lebih baik di masa yang akan datang. Sekalipun kesusastraan tidak eksplisit mencerminkan cita-cita keagamaan atau secara langsung membimbing pembaca untuk mengabdi kepada Tuhan, hal ini tidak berarti sastra tersebut sepi dari unsur-unsur keagamaan. Dewasa terancam pada bidang martabat manusia. Yang pertama-tama diserang bukanlah agama itu sendiri, tetapi hak-hak asasi manusia dan nilai-nilai manusiawi dipermainkan. Padahal nilai-nilai manusiawi itu sebenarnya perilaku religius yang harus dimilik oleh setiap umat beragama. Jadi, karya sastra yang bernilai manusiawi dan mencerminkan perilaku religius selayaknya dapat dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari.


Ditinjau dari nilai sosialnya, novel ini begitu kaya akan nilai
sosial. Hal itu dibuktikan rasa setia kawan yang begitu tinggi
antara tokoh Ikal, Arai, dan Jimbron. Masing-masing saling
mendukung dan membantu antara satu dengan yang lain dalam
mewujudkan impian-impian mereka sekalipun hampir mencapai
batas kemustahilan. Dengan didasari rasa gotong royong yang
tinggi sebagai orang Belitong, dalam keadaan kekurangan pun
masih dapat saling membantu satu sama lain.

Nilai adat di sini juga begitu kental terasa. Adat kebiasaan pada
sekolah tradisional yang masih mengharuskan siswanya
mencium tangan kepada gurunya, ataupun mata pencaharian
warga yang sangat keras dan kasar yaitu sebagai kuli tambang
timah tergambar jelas di novel ini. Sehingga menambah
khazanah budaya yang lebih Indonesia.


Nilai moral pada novel ini sangat kental. Sifat-sifat yang
tergambar menunjukkan rasa humanis yang terang dalam diri
seorang remaja tanggung dalam menyikapi kerasnya
kehidupan. Di sini, tokoh utama digambarkan sebagai sosok
remaja yang mempunyai perangai yang baik dan rasa setia
kawan yang tinggi.
3.2.2 Nilai Sosial
Ditinjau dari nilai sosialnya, novel ini begitu kaya akan nilai
sosial. Hal itu dibuktikan rasa setia kawan yang begitu tinggi
antara tokoh Ikal, Arai, dan Jimbron. Masing-masing saling
mendukung dan membantu antara satu dengan yang lain dalam
mewujudkan impian-impian mereka sekalipun hampir mencapai
batas kemustahilan. Dengan didasari rasa gotong royong yang
tinggi sebagai orang Belitong, dalam keadaan kekurangan pun
masih dapat saling membantu satu sama lain.

Nilai adat di sini juga begitu kental terasa. Adat kebiasaan pada
sekolah tradisional yang masih mengharuskan siswanya
mencium tangan kepada gurunya, ataupun mata pencaharian
warga yang sangat keras dan kasar yaitu sebagai kuli tambang
timah tergambar jelas di novel ini. Sehingga menambah
khazanah budaya yang lebih Indonesia.

Nilai agama pada novel ini juga secara jelas tergambar.
Terutama pada bagian-bagian dimana ketiga tokoh ini belajar
dalam sebuah pondok pesantren. Banyak aturan-aturan islam dan petuah-petuah Taikong (kyai) yang begitu hormat merka
patuhi. Hal itu juga yang membuat novel ini begitu kaya

lurbiasa. Begitulah kesan yang tersirat setelah membaca buku kedua dari
tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ini. Bagaimana tidak? Alur
cerita dan gaya bahasa yang disuguhkannya mampu dikemas begitu apik
dari awal hingga akhir. Ditinjau dari segi intrinsiknya, novel ini bisa dibilang
hampir tanpa cela. Sebab di setiap peristiwa, Andrea dengan cerdas
menggambarkan karakteristik dan deskripsi yang begitu kuat pada tiap
karakternya. Sehingga pembaca bisa dengan mudah menafsirkan arah jalan
ceritanya. Bahasanya pun sangat memikat, dengan dibumbui ragam
kekayaan bahasa dan imajinasi yang luas. Novel ini memiliki kekayaan
bahasa sekaligus keteraturan berbahasa Indonesia. Dimulai dari istilah-
istilah saintifik, humor metaforis, hingga dialek dan sastra melayu
bertebaran di sepanjang halaman. Mulanya, cerita ini lebih bernuansa
komikal dengan latar kenakalan remaja pada umumnya. Canda tawa khas
siswa SMA sangat kental. Namun lebih dalam menjelajahi setiap makna
kata demi kata, terasalah begitu kuat karakter yang muncul di tiap-tiap
tokohnya. Terlebih saat Andrea membawa kita ke dalam kenyataan hidup
yang harus dihadapi tokoh Ikal yang mimpinya seakan sudah mencapai titik
kemustahilan, dan dengan sensasi filosofis Andrea kembali membangkitkan
obor semangat meraih mimpi dan menekankan begitu besarnya kekuatan
mimpi Ikal yang akhirnya dapat mengantarkannya ke Sorbonne, kota
impiannya.
Selain menggambarkan betapasuperpower-nya kekuatan mimpi, pada
novel ini Andrea juga mencitrakan kebijaksanaan seorang ayah yang begitu
besar. Pengorbanan dan ketulusan seorang ayah dalam mendukung mimpi
anaknya di tengah keterbatasan hidup menjadikan semangat tak terbeli
bagi Ikal dan Arai dalam menggapai impiannya. Disinilah cerita mulai
berevolusi menjadi balada yang begitu mengharu biru. Kesabaran seorang
ayah dan rasa sayang seorang anak yang luar biasa besarnya kepada sang ayah menyempurnakan novel ini menjadi bacaan yang begitu kolosal dan
sarat akan pesan-pesan moril.
Angkat topi untuk Andrea Hirata yang telah berhasil membuat suguhan
kisah yang kental dengan budaya melayu namun sangat cerdas dan
saintifik. Tak hanya bisa membuat seseorang kembali membangun mimpi-
mimpinya, novel ini juga bisa menambah rasa hormat kita kepada sang
ayah dan mencintainya dengan tulus meskipun di tengah kondisi yang
sangat terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar